Sebuah kisah keteladanan...

Posted by TUMINI 2kang JAMOE on 06.26


... MENGENANG AYATULLAH KHOMEINI ....
Sebuah kisah keteladanan...


Ayatullah Khomeini, terlahir pada 24 September 1902.
Orang mengenangnya sebagai pemimpin sebuah revolusi di Iran paling spektakuler di abad 20 ini, yang hidup sehagai 'zahid' sejati. Orang-orang dekatnya mengenal sang Ayatullah sebagai seseorang yang hidup amat sederhana.

Bahkan di akhir hidupnya, tercatat bahwa harta peninggalan almarhum hanyalah berupa buku-buku, dan tak punya pemilikan pribadi. Uang kas jumlahnya nol. Beberapa alat kecil untuk keperluan hidup sehari-hari yang ada di rumahnya adalah milik istrinya.

Dua karpet bekas yang ada bukanlah milik pribadinya dan harus disedekahkan kepada orang miskin sepeninggalnya. Maka jadilah harta-benda yang tersisa dari seseorang yang meninggal dalam usia 90 tahun sebagai pemimpin tertinggi suatu negara kaya minyak --- hanya terdiri dari kacamata, alat pemotong kuku, tasbih, mushaf Al Quran, sajadah, surban, jubah ulama dan beberapa buku.

Mungkin tak ada salahnya, kita menengok kehidupan Ayatullah Khomeini berdasarkan kesan-kesan orang terdekatnya.... lalu menjadikannya sebagai bahan perenungan bagi diri kita sendiri!

1. Kunjungan ke Rumah Ayatullah Khomeini

Ketika Iran menjadi tuan rumah konferensi tentang "Perempuan dan Revolusi Islam", para peserta diberi kesempatan untuk mengunjungi rumah Ayatullah Khomeini. Dibawah ini adalah kesan-kesan dan reportase Khadijah, salah seorang peserta kunjungan ini. Inilah mimpi yang menjadi kenyataan.
Suatu keistimewaan yang langka untuk bisa berada di kediaman Imam. Setelah lewat permohonan berkali-kali, akhirnya suatu malam kami diberitahu bahwa besok pagi kunjungan ke rumah Imam telah diatur. Karena perasaan penuh harap, tampaknya tak ada yang bisa tidur malam itu.

Esok paginya, salju turun. Di depan rumah Imam, sudah menunggu dalam dingin yang menusuk,
kerumunan besar orang yang juga ingin menemui pemimpin mereka. Ada juga para wartawan asing dan dalam negri di sana. Penglihatan mereka terpaku pada pintu gedung pertemuan Jamaran, yang disebelahnya terletak rumah kecil Imam, yang darinya Imam akan keluar.

Tiba-tiba, dan benar, Imam muncul disitu! Orang-orang pun menjerit dalam tangisan, sambil melaungkan "Allahu Akbar" berkali-kali. Maka Imam pun duduk diam. Disebelahnya duduk juga Ahmad, putranya. Saya dan Imam hanya dipisahkan oleh jarak kira-kira 1 meter saja sehingga saya bisa menatapya dengan jelas. Seluruh raut wajahnya menunjukkan ketenangan dan kedamaian batin yang sempurna. Melihat air mukanya yang bening, saya merasa seperti berada di dunia lain. Hanya matanya mengungkapkan kenyataan bahwa dia benar- benar hadir di tengah kami.

Memasuki rumah Imam adalah kejutan yang lain buat kami. Pintu depannya adalah pintu besi sederhana. Di dalamnya terhampar halaman kira-kira sepanjang 6 meter. Rumah itu memiliki 3 ruangan. Didalamnya ada kasur dan sandaran duduk, serta sofa sederhana tempat Imam duduk dan tidur. Dapurnya memanfaatkan ruangan dibawah tangga.

Para wartawan asing yang ada disana tampak tak dapat menyembunyikan ketercengangan mereka melihat kesederhanaan rumah Imam. Lebih tercengang lagi mereka ketika melihat makanan sang Imam hanya terdiri dari kentang rebus, sebutir jeruk, dan sekerat roti.

Mereka bertanya kepada Istri Imam," Dimana kalian tidur?"
Istri Imam menjawab polos, "Persis di tempat kami duduk."

Kemudian istri Imam mengisahkan kehidupan sehari-hari suaminya," Sejak awal pernikahan kami, dia tak pernah menyuruhku mengambilkan sesuatu. Jika dia membutuhkan sesuatu, dia menyampaikannya secara tidak langsung. Misalnya, jika dia membutuhkan gamis, dia akan bilang 'Adakah gamis di rumah ini?'.
Dengan begitu aku paham bahwa dia butuh gamis, dan aku pun mengambilkannya untuknya.
Dia 'memaksa' untuk mempersiapkan sendiri segala sesuatu yang dibutuhkannya: mempersiapkan makanannya, minumannya, dan mencuci sendiri gelas-gelas dan mengembalikan ke tempatnya. Jika ada sesuatu yang tidak beres, dia membetulkannya sendiri."

Sang istri pun tak ingat bahwa suaminya pernah memarahinya. Sebaliknya, dia selalu lemah lembut, sejak malam pengantin hingga wafatnya.
"Suatu kali dia berada dalam suatu pertemuan dengan para pejabat negara. Tiba-tiba dia menyadari bahwa lampu di ruangan sebelah masih menyala. Dia pun bangkit menuju ruangan itu, mematikan lampu, dan kembali ke tempat pertemuan. Orang-orang tercengang dengan perbuatan Imam. Di kali lain orang melihat dia berupaya memisahkan selembar tissue yang terdiri dari 2 lapisan. Ketika salah seorang yang hadir memintanya untuk menggunakan kedua- duanya dia menjawab, 'Saya hanya butuh selapis'."

"Dia menyukai makanan yang paling sederhana, dan tak makan dari beberapa makanan sekaligus. Dia makan hanya untuk bertahan hidup. Amat teratur hidupnya. Imam amat menghargai perempuan. Contohnya, ketika para cucunya mengunjunginya, dia tak lupa untuk menyuruh mereka pertama kali menemui neneknya dan mencium tangannya."

"Tak ada pembantu rumah tangga di rumah Imam. Para tamu biasanya dilayani oleh keluarga Imam, biasanya kedua anak perempuannya, yang tak mengizinkan ibunya untuk melakukan apa-apa, hanya demi ingin membuat hidup si ibu senyaman mungkin."

Khadijah melanjutkan kesannya tentang keluarga Ayatullah Khomeini , "Di rumah Imam, kami benar-benar merasa seperti di rumah sendiri, seolah-olah kami berada di tengah keluarga sendiri.
Kami merasa aman dan tenteram. Maka kami pun merasa amat sedih ketika harus meninggalkan Imam dan keluarganya. Keluarga ini telah membuat kami merasa bahwa mereka adalah cerminan hidup ajaran-ajaran Al Quran."

2. Kenangan Zahra, putri Ayatullah Khomeini;

Imam adalah seorang ayah yang baik hati. Tidak hanya untuk bangsanya, tetapi juga untuk putra-putrinya. Setelah selesai mengajar, atau setelah menyelesaikan berbagai urusan kenegaraan, dia selalu menyempatkan bermain- main dengan putra-putrinya. Dia biasa bercengkrama bersama mereka dengan berbagai permainan.

Zahra Musthawafi, putrinya, pernah berkisah:
"Meskipun terdapat perbedaan usia sebesar 40 tahun antara usia ayah dan usia kami, kebaikan hatinya membuat kami seolah tak merasakan perbedaan itu. Seolah-olah dia tampak sebaya dengan kami saja. Dia biasa mengatur waktunya sedemikian sehingga selalu bisa membagi waktunya untuk bermain-main dengan kami. Contohnya, sebagian kelas yang diajarinya diselenggarakan di rumah kami. Biasanya kelas- kelas itu berakhir pada pukul 11. Setelah itu, dia biasa bermain dengan kita hingga sebelum shalat dhuhur. Kadang-kadang dia bermain petak umpet dengan kami semua."
"Begitulah kira-kira acara kami sehari-hari. Kami sungguh amat menikmatinya..."
Zahra pun menambahkan, "Saya terus ingat kenangan- kenangan manis itu demi menawarkan kepedihan yang kami rasakan sepeninggalnya."

Imam percaya bahwa anak-anak harus bebas bermain, bahkan pun untuk bersikap nakal. Kalau seorang anak tidak begitu, mungkin ia malah sedang sakit. Menurut Imam, jika seorang anak memecahkan sesuatu dan melukai dirinya sendiri, orangtuanya perlu dihukum. Karena seharusnya mereka bertanggungjawab untuk menyisihkan bahaya dari anak-anaknya.

Anak-anak Imam mengenang ayahnya sebagai orangtua yang baik hati, tetapi tak pernah mengabaikan pendidikan dan latihan bagi anak-anaknya. Dia selalu adil dalam mendidik mereka. Pernah terjadi, dia melarang anak-anaknya untuk bermain-main (terlalu banyak) di rumah tetangganya. Suatu kali, 3 anak perempuannya melanggar perintahnya itu. Untuk menghukum
mereka, sang ayah mengambil sepotong rotan dan, untuk menakut-nakuti mereka, memukul-mukulkan rotan itu ke tembok sambil berkata, "Ayah kan sudah bilang, jangan main ke rumah tetangga.....".

Tanpa diduga, setelah memukul-mukulkan ke tembok 2-3 kali, rotan itu patah dan tak sengaja melukai kaki salah seorang putrinya. Mengenang hal ini, Zahra mengatakan,"Kaki perempuan tertua saya, yang berusia 11 tahun pada waktu itu, luka tergores dan saya yang berumur 7 tahun, serta kakak saya satunya lagi yang berusia 9 tahun tidak terluka sama sekali. Ayah amat menyesal waktu itu. Setelah memeriksa dan mengobati kaki kakak saya, dia pun segera mempersiapkan pembayaran diyat (denda keagamaan) yang sebanding dengan luka kaki kakak saya itu dan memberikannya kepada kakak saya itu --- betapa pun sebenarnya semuanya itu terjadi tanpa sengaja. Pada waktu itu saya berharap bahwa yang luka tergores itu kaki saya."

3. Kenangan Putri Termuda Ayatullah Khomeini terhadap ayahnya

Suatu kali putri termuda Imam hamil ketika ia berumur 18 tahun. Ketika kehamilannya mencapai usia 7 bulan, suatu kelainan menimpa kandungannya sehingga --- menurut para dokter ahli --- hidup putri Imam dan anak yang dikandungnya itu terancam. Suatu tindakan perlu segera dilakukan untuk menyelamatkan salah seorang dari keduanya. Menantu Imam dan para dokter berpikir untuk menyelamatkan sang ibu. Untuk keperluan ini, mereka minta izin Imam. Dengan menangis sesenggukan, menantu Imam itu memohon persetujuan mertuanya agar membiarkan dokter mengoperasi si ibu --- dengan akibat terkorbankannya anak yang dalam kandungan itu. Imam, dengan keyakinan kuat seorang ayah mengatakan, "Saya tak bisa menyetujui agar nyawa seorang anak dikorbankan demi nyawa ibunya. Keduanya adalah makhluk hidup."

Bayangkan, ketika berkata begini, Imam tentu sadar betul bahwa dia beresiko untuk kehilangan putri kesayangannya. Dia pun melanjutkan, "Saya tak dapat mengizinkan pembunuhan makhluk hidup karena kecintaanku kepada putriku. Saya tak bisa memberikan izin itu."

Para dokter ahli itu pun berupaya sebisanya untuk meyakinkan Imam bahwa --- kalau dibiarkan --- toh (sedikitnya) salah satu harus meninggal juga....
Menyadari itu semua, Imam pun segera minta ditinggalkan sendirian untuk shalat, memohon pertolongan Allah Swt. Para dokter ahli itu pun melanjutkan upaya mereka, sebisanya. Beberapa menit kemudian, Imam diberi tahu bahwa sang bayi dan ibunya sudah bisa diselamatkan dari bahaya yang tadinya mengancam mereka berdua. Sang Imam, dalam keadaan bahagia dan plong, melakukan shalat lagi. Kali ini untuk bersyukur kepada Allah.

4. Kenangan Sayyid Ahmad atas ayahandanya

Suatu hari, salah seorang putri Imam dan Sayyid Ahmad berada di kamar ayahnya. Imam, dengan kelembutan seorang ayah, meminta putranya agar mengambilkan kopi buku Kasyf Al-Asrar, karangannya, dari perpustakaan. Perpustakaan itu adalah milik Biro Imam. Putra Imam itu pun menjawab, "Menurut peraturan perpustakaan, siapa pun yang ingin membaca buku yang ada disana harus datang sendiri. Akan tetapi, kali ini saya akan meminta seseorang mengambilkannya untuk Ayah jika Ayah menginginkannya...." Segera Imam menjawab, "Jangan. Saya tak mau bertindak melawan aturan perpustakaan." Setelah itu, Imam meminta putrinya untuk mencari kopi yang lain dari buku itu --- yang mereka miliki sendiri --- dan membawanya kepadanya.

Imam adalah seseorang yang selalu taat pada peraturan. Dia tak ingin dirinya dibeda-bedakan dari yang lain. Padahal, sebenarnya, untuk seseorang yang berada pada kedudukan seperti itu --- bukan hal yang luar biasa jika memperoleh sekedar keringanan peraturan. Apalagi, perpustakaan itu sesungguhnya miliknya sendiri --- yang aksesnya dibuka untuk umum. Menurut orang-orang yang mengenalnya, sifat seperti ini selalu mewarnai kehidupan Ayatullah Khomeini. Dia selalu menghormati hak-hak orang lain. Dia merasa wajib mengikuti aturan, termasuk aturan-aturan di dalam rumahnya sendiri.

Demikianlah sekilas kenangan terhadap Ayatullah Khomeini. Ketegasan yang dikombinasikan dengan kelemah lembutan memang selalu merupakan kesan yang ditangkap oleh siapa saja yang pernah bertemu dengan tokoh ini.

***

Apakah definisi orang 'besar'?
Orang 'besar' adalah orang yang mampu mengatasi ruangan jiwanya sendiri yang hendak dihimpit benda-benda, karena ia menghendaki suatu kebebasan yang lebih punya arti.

Orang 'besar' adalah orang yang bekerja untuk akhirat seperti ia akan mati besok;
dan bekerja untuk dunia seperti ia akan hidup selama-lamanya ---tetapi bukan dengan keserakahan untuk dirinya sendiri.
Manusia biasa, yang tidak berukuran 'besar', tak mampu untuk puasa panjang sekeras itu.
Mereka tak mampu menanggung beban derita sebuah ide. Mereka mungkin ingin mengubah dunia, tapi sejauh mana dan sepanjang kapan?
Bagi manusia biasa, ikhtiar perubahan dunia pada suatu saat perlu jeda.
Bagi orang 'besar' seperti Khomeini, ikhtiar merubah dunia itu adalah usaha yang tak pernah selesai.....



***
16 Nasihat Ayatullah Khomeini untuk Pembinaan Pribadi Muslim:

1. Sedapat-dapatnya berpuasalah setiap hari Senin dan Kamis
2. Shalatlah 5 waktu tepat pada waktunya dan berusahalah shalat tahajud
3. Kurangilah waktu tidur dan perbanyaklah membaca Al Quran
4. Perhatikanlah dan tepatilah sungguh-sungguh janjimu.
5. Berinfaklah kepada fakir miskin.
6. Hindarilah tempat-tempat maksiat
7. Hindarilah tempat-tempat pesta pora dan janganlah mengadakannya
8. Janganlah banyak bicara dan seringlah berdoa
9. Berpakaianlah secara sederhana
10. Berolahragalah.
11. Banyak-banyaklah menelaah berbagai buku (agama, sosial, politik, sains,
filsafat, sejarah, sastra dll)
12. Pelajarilah ilmu-ilmu teknik yang dibutuhkan negara Islam.
13. Pelajarilah ilmu tajwid dan bahasa Arab, serta perdalamlah
14. Lupakanlah pekerjaan-pekerjaan baikmu dan ingatlah dosa-dosamu yang lalu.
15. Pandanglah fakir miskin dari segi material, dan ulama dari segi spiritual.
16. Ikuti perkembangan umat Islam.

disarikan dari buku "Wasiat Sufi Ayatullah Khomeini"
oleh Yamani